Friday, June 8, 2012

Askep Ckb ( cidera kepala berat )


CIDERA KEPALA BERAT


A. Konsep Dasar penyakit

1.  Pengertian
       Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang karena dapat menimbulkan kematian.    
       Cedera kepala adalah adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Hudak & Gallo, 1997). Tingkat keparahan cedera kepala ditentukan oleh karasnya benturan dan pada daerah mana yang mengalami benturan.
      2.   Klasifikasi
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan dan morfologi cedera.
1)      Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi duramater
a)      Trauma tumpul : 
-  Kecepatan mobil (tabrakan otomobil)
-  Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b)      Trauma tembus (jika tembus peluru atau cedera tembus lainnya).
2)      Keparahan cedera
a)   Ringan       :  Skala Koma Glasgow (GCS) 14 – 15
b)   Sedang      :  Skala Koma Glasgow (GCS) 9 –13
c)   Berat         :  Skala Koma Glasgow (GCS) 3 – 8
3)      Morfologi
a)   Fraktur tengkorak
b)      Lesi intrakranial
2.      Etiologi
       Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Pada suatu benturan dapat dibedakan menjadi beberapa macam kekuatan antara lain : kompresi, akselerasi dan deselerasi. Sulit dipastikan kekuatan mana yang berperan.
       Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan gangguan otak, hematoma epidural, subdural atau intra serebral. Cedera difus dapat menyebabkan gangguan fungsional saja yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus. Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan ke seluruh arah. Gelombang ini mengubah tekanan jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut coup atau di tempat yang berseberangan dengan tempat benturan yang disebut contracoup.




4.   Patofisiologi
 

















5.  Tanda dan gejala
       Data klien dengan cidera kepala tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. Pada pemenuhan aktivitas / istirahat, biasanya klien merasa lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan yang ditandai dengan munculnya perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, cara berjalan tidak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot.
       Pada sistem sirkulasi terjadi perubahan tekanan darah dan perubahan frekuensi jantung. Pada pemenuhan nutrisi klien merasa mual, muntah dan mengalami perubahan selera makan yang ditandai dengan muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia). Pada pengkajian neurosensori dapat ditemukan kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, perubahan dalam pengelihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapangan pandang dan fotopobia. Pada perubahan kesadaran bisa mencapai koma dan dapat pula terjadi perubahan status mental seperti pada perubahan orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori.
       Atau berupa kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah dan gangguan pada keseimbangan tubuh. Untuk nyeri dan kenyamanan dapat ditemukan sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan demam sebagai tanda adanya gangguan dalam regulasi suhu tubuh. Pada pernapasan terdapat perubahan pola napas (apnea yang diselingi hiperventilasi).
       Pada pemeriksaan kulit diperiksa pula adanya laserasi, abrasi dan perubahan warna. Pada hidung diperiksa adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS). Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis. Kebutuhan interaksi sosial terganggu yang dapat ditandai oleh adanya afasia motorik atau sensorik berbicara tanpa arti, bicara berulang-ulang dan disatria.
1.      Penatalaksanaan
a.    Pada semua klien dengan cedera kepala, lakukan foto tulang belakang (proyeksi antero – posteriol, lateral, dan adontoid), kolor servikal baru di lepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1 – C7 normal.
b.   Pada semua klien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
1)  Pasang jalur IV dengan larutan  salin normal (Nacl 0,9 %) atau larutan  Ringer Laktat ;  cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular dari pada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema cerebri.
2) Lakukan pemeriksaan ;  Hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa ureum dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
3)      Lakukan CT Scan dengan jendela tulang, klien dengan cedera ringan , sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :
                           a)   Hematoma Epidural,
                           b)   Darah dalam subarachnoid dan intraventrikal
                           c)   Kontusio dan perdarahan jaringan
                           d)   Obliterasi sisterna perimesensefalik
                           e)   Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.
      c.   Pada klien yang koma, (skor GCS < 8) atau klien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut.
1)      Elevasi kepala 30 º.
2)      Hiperventilasi : Intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16 – 20 x / menit dengan volume tidal 10 – 12 ml/kg. Atur tekanan CO2 sampai 28 – 32 tig. Hipokapria berat (PCO2 < 25 mmtig) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokonstriksi iskemia serebri.
3)      Berikan manitol 20 % lg/kg IV dalam 20 – 30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4 – 6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama.
4)      Pasang kateter foley
5)      Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma efidiral yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 deploe.
2.      Komplikasi
            a.   Oedema Pulmonal
                  Hal ini mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distres pernafasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya reflek cushing.
b.   Kejang
            c.   Kebocoran CSS
B.  Asuhan keperawatan
       Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling diinginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang relevan dari sistem  teori, dengan menggunakan metode ilmiah (Shore, 1998 yang dikutip dalam Doengoes,1996).
       Proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis untuk mengkaji respon manusia pada masalah-masalah kesehatan dan membuat rencana keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Masalah kesehatan dapat berhubungan dengan pasien, keluarga, orang terdekat atau manusia (Allen, 1998 ). 
1.   Pengkajian
       Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sitematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam,2001 ).
       Pengkajian merupakan langkah pertama atau awal dari proses keperawatan. Tujuan pengkajian adalah untuk memberikan suatu gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan pasien, yang memungkinkan tim perawat merencanakan asuhan keperawatan pada klien. Manfaat pengkajian keperawatan adalah membantu mengidentifikasi status kesehatan, pola pertahanan klien, kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan. (Gaffar, 1999 ).
       Pengkajian keperawatan  terdiri dari tiga tahap yaitu pengmpulan data, pengelompokan data atau pengorganisasian data, serta menganaliasa dan merumuskan diagnosa keperawatan. (Gaffar,1999 ).
       Data dasar pada pengkajian klien tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. Adapun pengkajian pada klien dengan cedera kepala. (Doenges, 2000) adalah :
            a.   Aktivitas / Istirahat
                  Gejala              :  Adanya kelemahan / kelelahan
      Tanda              :  Kesadaran menurun, lethargi / kelesuan, hemiparase, hilang keseimbangan, adanya trauma tulang, kelemahan otot / spasme.
            b.    Sirkulasi
                  Gejala              :  Tekanan darah tinggi / hypertensi, denyut nadi (brachialis, tachicardia, dysrithmia).
             c.  Eliminasi
                  Gejala                 :  Balder dan bowel incontinentia.
                  Tanda                 : Verbal tidak dapat menahan buang air kecil dan buang air besar.
            d.   Makanan / Cairan
                  Gejala                 : Muntah yang memancar / proyektil, masalah kesukaran menelan (batuk, air liur yang berlebihan, sukar makan).
                  Tanda                 : Mual, muntah.
             e.  Persyarafan
                  Gejala                 :  Kesadaran menurun, coma, perubahan status mental (perubahan orientasi, respon, pemecahan masalah), perubahan penglihatan (respon terhadap cahaya, simetris / tidak), kehilangan sensitifitas (bau, rasa, dengar). Wajah tidak simetris, tidak ada refleks tendon, hemiparise, adanya perdarahan mata, hidung, kejang.
                  Tanda                 :  Pusing, kejang, adanya kehilangan kesadaran, masalah penglihatan, bunyi berdengung di telinga.
            f.    Kenyamanan / Nyeri        
                  Gejala                 : respon menarik diri terhadap rangsangan, wajah mengerut, kelelahan, merintih
                  Tanda                 :  Nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasinya.
            g.   Pernafasan
                  Gejala                 : Perubahan pola nafas (periode apnoe dengan perubahan hyperventilasi), whezzing, stridor, dan ronchi.
            h.  Keamanan
                  Gejala                 : Terdapat trauma / fraktur/ dislokasi, perubahan penglihatan, kulit (kepala / wajah mengalami luka, abrasi, warna), keluar darah dari telinga dan hidung.
                  Tanda                 :  Ada riwayat kecelakaan
            i.    Konsep Diri
                  Gejala                 :  Kecemasan, berdebar–debar, bingung, delirium, interaksi sosial.
                  Tanda                 :  Adanya perubahan tingkah laku.
             j.   Interaksi Sosial
                  Gejala                 :  Afasia / disartia (gangguan mengartikan pembicaraan orang lain).
2.   Diagnosa keperawatan
       Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi  secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah. (Carpenito, 2000 ).
       Menurut Gaffar,(1996) “ Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual atau resiko “.
       Diagnosa keperawatan pada klien dengan cedera kepala menurut Doenges, (2000) meliputi :
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cidera, perubahan metabolik, takar lajak obat atau alkohol).
b.      Risiko tinggi terhadap pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial.
c.       Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi dan integrasi (trauma atau defisit neurologis).
d.      Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis.
e.       Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan / tahanan, terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan, misalnya tirah baring, immobilisasi.
f.       Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
g.      Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
h.      Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tenang hasil / harapan.
i.        Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan) berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif.
      3.   Perencanaan
       Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, atau mengoreksi masalah – masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam, 2001).
       Rencana keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Setelah merumuskan diagnosa keperawatan maka perlu dibuat perencanaan intervensi keperawatan dan aktifitas keperawatan. Rencana pelayanan keperawatan dipandang sebagai inti atau pokok proses keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan, dan menceggah masalah keperawatan pasien (Gaffar,1996).    
       Perencanaan yang disusun pada klien dengan cedera kepala menurut Doenges,(2000)  adalah sebagai berikut :
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat atau alkohol), penurunan tekanan darah sistemik atau hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
Kriteria hasil, individu akan :
1)      Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi dan fungsi motorik atau sensori.
2)      Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi :
1)      Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
2)      Pantau tekanan darah.
3)      Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tekanan nadi yang semakin berat, observasi terhadap hipertensi pada pasien yang mengalami trauma multiple.
4)      Catat adanya bradikardia, takikardi atau bentuk disritmia lainnya.
5)      Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode apnea setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan cheyne stokes.
6)      Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan, dan reaksi terhadap cahaya.
7)      Kaji perubahan pada pengelihatan, seperti adanya pengelihatan yang kabur, ganda, lapangan pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
8)      Catat ada atau tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk, tanda babinski dan sebagainya.
9)      Pantau pemasukan dan pengeluaran.
10)  Catat turgor kulit dan keadaan membran mukosa.
11)  Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau posisi netral, sokong dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
12)  Turunkan stimulus eksternal dan berikan kenyamanan seperti massage punggung, lingkungan yang tenang, suara atau bunyi-bunyian yang lembut.
13)  Bantu pasien untuk menghindari batuk, muntah mengeluarkan faces yang dipaksakan atau mengejan.
14)  Perhatikan rasa gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan, dan tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.
15)  Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih, pertahankan kepatenan drainase urine jika digunakan. Pantau kemungkinan adanya konstipasi.
16)  Observasi adanya aktivitas kejang dan lindungi klien dari cidera.
17)  Kolaborasi dalam analisa gas darah dan pemberian terapi medis.
b.   Risiko tinggi terhadap pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial.

Kriteria hasil :
Mempertahankan jalan napas sesuai indikasi pola pernapasan normal atau efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal klien.
Intervensi :
1)      Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan.
2)      Catat kompetensi refleks gangguan menelan dan kemampuan klien untuk melindungi jalan napas sendiri.
3)      Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
4)      Anjurkan klien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika klien sadar.
5)      Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10 sampai 15 detik. Catat kateter, warna dan kekeruhan dari sekret.
6)      Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal.
7)      Pantau penggunaan obat-obat depresan pernapasan, seperti sedatif.
8)      Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah, rontgen thorak ulang, pemberian oksigen, dan fisioterapi dada jika ada indikasi.
c.   Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi, dan integrasi (trauma atau defisit neurologis).
Kriteria hasil, klien akan :
1)      Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
2)      Mendemonstrasikan adanya perubahan prilaku atau gaya hidup.
Intervensi :
1)      Pantau perubahan orientasi, kemampuan bicara, atau alam perasaan, atau afektif, sensorik dan proses pikir.
2)      Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpal dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah atau sensasi yang lain.
3)      Observasi respon prilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi.
4)      Hilangkan suara bising atau stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan.
5)      Bicara dengan suara lembut dan pelan.
6)      Gunakan kalimat yang pendek dan sederhana.
7)      Pertahankan kontak mata.
8)      Pastikan atau validasi persepsi klien dan berikan umpan balik.
9)      Orientasikan kembali klien secara teratur pada lingkungan dan tindakan apa yang dilakukan terutama jika pengelihatannya terganggu. Beri stimulus yang bermanfaat, hindari isolasi baik secara fisik atau psikologis.
10)  Buat jadwal istirahat yang adekuat atau periode tidur tanpa ada gangguan.
11)  Gunakan penerangan siang atau malam hari.
12)  Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas.
13)  Berikan keamanan terhadap klien, seperti memberi bantalan pengalas pada penghalang tempat tidur, membantu saat berjalan, melindungi dari benda tajam atau panas. Catat adanya penurunan persepsi dan letakan pada tempat tidur klien.
14)  Kolaborasi dalam pemberian fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif.

4.   Pelaksanaan

       Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001).
       Ada tiga fase implementasi keperawatan yang dikutip oleh Gaffar,(1999) dari Griffith, et all,(1986) yaitu, fase persiapan meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan ketrampilan mengimplementasikan rencana, persiapan, pasien dan lingkungan. Fase kedua yaitu fase operasional merupakan puncak implementasi dengan berorintasi pada tujuan. Implementasi dapat dilakukan dengan intervensi independen atau mandiri, dependen atau tidak mandiri, serta interdependen atau sering disebut intervensi kolaborasi. Bersamaan dengan ini, perawat tetap melakukan angoing assesment yang berupa pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Fase tiga yaitu fase inerminasi merupakan terminasi perawat dengan klien setelah implementasi dilakukan.
       Pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan cedera kepala antara lain :
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cidera, perubahan metabolik, takar lajak obat atau alkohol).
Tindakan keperawatan :
1)      Mengkaji status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda TIK, terutama GCS.
2)      Memonitor tanda-tanda vital setiap jam sampai keadaan klien stabil.
3)      Menaikkan kepala dengan sudut 150 - 450 tanpa bantal.
4)      Memberikan obat-obatan anti edema seperti manitol.
5)      Memberikan oksigem sesuai program terapi.
            b.   Risiko tinggi terhadap pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial.
Tindakan keperawatan :
1)      Mengkaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi napas.
2)      Mengatur posisi klien dengan posisi semifowler (150 - 450).
3)      Melakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10 - 15 detik, mencatat sifat, warna, bau sekret.
4)      Mengajarkan klien latihan napas dalam.
5)      Memberikan terapi oksigen sesuai indikasi.
            c.   Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi, dan integrasi (trauma atau defisit neurologis).
Tindakan keperawatan :
1)      Mengkaji respon sensoris terhadap raba / sentuhan, panas atau dingin, tajam dan tumpul, mencatat perubahan-perubahan yang terjadi.
2)      Menghilangkan suara bising atau stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan.
3)      Menggunakan kalimat yang sederhana, tenang dan lembut dalam berbicara dengan klien.
4)      Memberikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembalinya fungsi persepsi yang maksimal.
5)      Memberikan pengaman pada sisi tempat tidur.

5.   Evaluasi

       Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah tercapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap pengkajiaan, analisa, perencanaan dan pelaksanaan tindakan (Nursalam, 2001).                 
       Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan yang merupakan tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan tindakan keperawatan yang diberikan. Pada tahap evaluasi terdapat beberapa kemungkinan yaitu masalah teratasi seluruhnya, sebagian dan belum teratasi atau bahkan timbul masalah baru. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui kemajuan klien, dalam mencapai kriteria hasil yang ditetapkan dalam tujuan asuhan keperawatan. Evaluasi yang dilakukan terdiri dari evaluasi hasil dan evaluasi proses. 
       Kriteria evaluasi diharapkan terjadi pada klien antara lain :
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cidera, perubahan metabolik, takar lajak obat atau alkohol), penurunan tekanan darah sistemik atau hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
Kriteria hasil, individu akan :
1.      Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi dan fungsi motorik atau sensori.
2.      Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
b.   Risiko tinggi terhadap pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial.

Kriteria hasil :
Mempertahankan jalan napas sesuai indikasi pola pernapasan normal atau efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal klien.
c.   Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi, dan integrasi (trauma atau defisit neurologis).
Kriteria hasil, klien akan :
1)   Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
2)   Mendemonstrasikan adanya perubahan prilaku atau gaya hidup.

No comments:

Post a Comment