DYSPEPSIA
A. Konsep Dasar Penyakit
1.Pengertian
Dyspepsia adalah kumpulan
keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian
atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. (Arif Mansjoer, dkk, 1999).
Dyspepsia dapat juga didefinisikan sebagai kumpulan keluhan/gejala klinis yang
terdiri dari rasa tidak enak baik episodic, atau persisten yang diduga berasal
dari saluran makanan bagian atas (Kelompok Studi Helicobakter Pilori Indonesia,
1996). Dispepsia juga diartikan untuk menjelaskan sejumlah gejala yang umumnya
dirasakan sebagai gangguan perut bagian atas dan sering disertai dengan
kurangnya asupan makanan (Prof. Dr. Ahmad H. Asdie Sp. Pd, 1999).
2.Anatomi dan Fisiologi
Lambung merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling
banyak terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak
di bawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus
uteri.
a.
Bagian lambung terdiri dari :
1)
Fundus Ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas
terletak di sebelah kiri osteum kardium dan biasanya penuh berisi gas.
2)
Korpus Ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu
lekukan pada bagian bawah kurvatura minor.
3)
Antrum Pilorus, bagian lambung berbentuk tabung
mempunyai otot yang tebal membentuk spinkter pilorus.
4)
Kurvatura Minor, terdapat di sebelah kanan lambung
terbentang dari osteum kardiak sampai ke pilorus.
5)
Kurvatura Mayor, lebih panjang dari kurvatura
minor terbentang dari sisi kiri osteum kardiakum melalui fundus
ventrikuli menuju ke kanan sampai ke pilorus inferior. Ligamentum gastro
lienalis terbentang dari bagian atas kurvatura mayor sampai ke limpa.
6)
Osteum Kardiakum, merupakan tempat dimana esopagus bagian
abdomen masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.
b.
Susunan Lapisan
Susunan lapisan dari dalam keluar,
terdiri dari :
1)
Lapisan selaput lendir, apabila lambung ini
dikosongkan, lapisan ini akan
berlipat-lipat yang disebut rugae.
2)
Lapisan otot
melingkar (muskulus aurikularis).
3)
Lapisan otot
miring (muskulus oblingus).
4)
Lapisan otot panjang (muskulus longitudinal).
5)
Lapisan jaringan ikat/serosa (peritonium).
Hubungan antara pilorus terdapat spinkter pilorus.
c.
Fungsi Lambung
Ada dua fungsi lambung, yaitu :
1)
Fungsi Motorik.
a)
Fungsi reservoir.
b)
Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi
sedikit dicernakan dan bergerak pada
saluran cerna.
c)
Fungsi mencampur.
d)
Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan
mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi
lambung.
e)
Fungsi pengosongan lambung.
f)
Diatur oleh pembukaan sfingter pilorus yang dipengaruhi
oleh viskositas, volume,
keasaman, aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan, dan kerja.
2)
Fungsi pencernaan dan sekresi.
a)
Pencernaan protein oleh pepsin dan HCl dimulai disini,
pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil
peranannya.
b)
Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein
yang dimakan, peregangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsang vagus. Hormon Gastrin diproduksi oleh sel G yang
terletak pada daerah pilorus lambung.
c)
Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin
B12 dari usus halus bagian distal. Kekurangan faktor intrinsik akan
menyebabkan anemia pernisiosa.
d)
Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi
lambung serta berfungsi sebagai
pelumas, sehingga makanan lebih mudah
diangkut.
3. Etiologi
a.
Dispepsia organik.
Dispepsia
ini apabila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.
1)
Ulkus peptic kronik (ulkus ventrikuli, ilkus duodeni).
2)
Gastro-oesophageal refluk disease (GORD), dengan atau
tanpa esofagitis.
3)
Obat : Aspirin.
4)
Kolelitiasis simtomatik.
5)
Pankreatitis kronik.
6)
Ganggan metabolik (uremia, hiperkalsemia, gastroparesis
DM).
7)
Keganasan (gaster, pankreas, kolon).
8)
Insufisiensi vaskula mesentrikus.
9)
Nyeri dinding perut.
b.
Disepsia nonorganik
atau dispepsia fungsional, atau dispepsia nonulkus (DNU).
Dispepsia
ini bila tidak jelas penyebabnya.
1)
Disfungsi sensorik-motorik gastroduodenum.
2)
Gastroparesis idiopatik/hipomotilitas antrum.
3)
Disritmia gaster.
4)
Hipersensitivitas gaster/duodenum.
5)
Factor psikososial.
6)
Gastritis H. pylori.
7)
Idiopatik.
4. Patofisiologi
Menurut dr. Wewen Siswanto (1999),
patofisiologi Dyspepsia Non Ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor
berikut mungkin berperan penting (multifaktorial) :
a.
Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan
Studi Scintigrapic Nuklear dibuktikan lebih dari 50 %klien Dyspepsia Non
Ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula
pada studi Monometrik didapatkan
gangguan mobilitas antrum post prandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut
dengan gejala dyspepsia tidak jelas.
Penelitian
akhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang “kaku” bertanggung jawab
terhadap dyspepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat
mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan
bertahap dari korpus gaster menujuke bagian fundus dan duodenum diatur oleh
refleks fagal. Pada beberapa pasien Dyspepsia Non Ulkus, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.
b.
Perubahan Sensitivitas Gaster
Lebih
dari 50 % pasien Dyspepsia Non Ulkus menunjukkan sensitivitas terhadap distensi
gaster ayau intestinunm, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang
sudikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
gaster intestinum atau distensi dini bagian antrum post prandial dapat
menginduksi nyeri bagian ini.
c.
Psikosomatis (Faktor Psiko
Sosial)
Emosi,
intelegensi dan kepribadian sangat berpengaruh terhadap cara manusia menyelesaikan
konfliknya. Bila konflik tidak teratasi akan menimbulkan stres psikis dan
selanjutnya bisa menimbulkan gangguan somatic baik gangguan fungsional maupun
organik.
5. Tanda
dan Gejala
Didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi 3 tipe :
a.
Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like
dyspepsia), dengan gejala :
1)
Nyeri epigastrium terlokalisasi.
2)
Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid.
3)
Nyeri saat lapar.
4)
Nyeri episodik.
b.
Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like
dyspepsia), dengan gejala :
1)
Mudah kenyang.
2)
Perut cepat terasa penuh saat makan.
3)
Mual.
4)
Muntah.
5)
Upper abdominal bloating.
6)
Rasa tak nyaman bertambah saat makan.
c.
Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua
tipe di atas).
Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
6.
Pemeriksaan Diagnostik
a.
Radiologi yaitu,
OMD dengan kontras ganda.
b. Serologi
Helicobacer pylori.
c. Urea
breath test (belum tersedia di Indonesia).
d.
Endoskopi :
1)
CLO (rapid urea test).
2)
Patologi anatomi.
3)
Kultur miroorganisme (MO) jaringan.
4)
PCR (polmerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.
7.
Pengobatan.
Pengobatan dispepsia mengenal
beberapa golongan obat, yaitu :
a.
Antasid 20-150
ml/hari.
Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya
teradapat dalam antasid antara lain Na, Bicarbonat dan Mg Trisilat. Pemakaian
obat ini sebaiknya jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis (untuk
mengurangi rasa nyaman).
b.
Antikolinergik.
Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti
reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28-43 %.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
c.
Antagonis resepor H2.
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati
dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
d.
Penghambat pompa asam.
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada
stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk
golongan ini adalah ameperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol.
e.
Sitoprotektif.
Prostaglandin sintetik seperti miroprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat
sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
f.
Golongan
prokinetik.
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid,
dompeidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung
(acid clearance).
B. Konsep dasar proses keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian
kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan oleh seorang perawat
kepada klien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan
proses keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan yang dilandasi etika
keperawatan dalam lingkup wewenang serta
tanggung jawab keperawatan.
Dalam proses keperawatan terdiri dari lima tahap,
yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
(Gebbie & Lavin, 1974).
Di dalam melaksanakan proses keperawatan, perawat
harus mempunyai keterampilan khusus agar dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas, yaitu keterampilan intelektual, keterampilan teknikal, dan keterampilan
interpersonal.
1.
Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses asuhan keperawatan yang memberikan
gambaran tentang kondisi klien yang nantinya dapat membantu dalam
mengidentifikasikan status kesehatan klien, pola pertahanan klien, kekuatan dan
kebutuhan klien serta penegakan diagnosa keperawatan.
Pengkajian
meliputi tiga tahap utama, yaitu pengumpulan
data, pengelompokkan atau pengorganisasian data, serta menganalisa dan
merumuskan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997).
Pada tahap ini, pengumpulan data dapat diperoleh dengan beberapa cara,
antara lain studi literatur, observasi, anamnese/wawancara, serta pemeriksaan
fisik. Studi literatur dilakukan dengan
mempelajari sumber kepustakaan yang ada. Observasi dilakukan dengan mengumpulkan
data yang diperoleh melalui cara pengamatan tentang kondisi klien. Anamnese
adalah cara pengumpulan data melalui tanya jawab dengan klien, keluarga, maupun
dengan tim medis lain. Sedangkan
pemeriksaan fisik adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi.
Menurut Tucker, pengkajian pada klien dengan
Dyspepsia adalah sebagai berikut :
a.
Keluhan utama
Nyeri/pedih
pada daerah epigastrium di samping atas dan bagian samping dada depan
epigastrium, mual, muntah, dan tidak ada nafsu makan.
b.
Riwayat kesehatan masa lalu
Sering
nyeri pada daerah epigastrium, adanya stres psikologis dan riwayat mengkonsumsi
alkohol.
c.
Riwayat kesehatan keluarga
Adakah
anggota keluarga yang lain yang juga pernah menderita penyakit yang sama.
d.
Pola aktivitas
Kebiasaan
makan yang kurang teratur, mengkonsumsi makanan/minuman yang merangsang selaput mukosa lambung, berat
badan sebelum dan sesudah sakit.
e.
Aspek psikososial
Keadaan
emosional, hubungan dengan teman, keluarga, kerabat, dan adanya stresor yang
sedang dialami klien.
f.
Aspek ekonomi
Jenis
pekerjaan dan jadwal kerja, jarak tempat kerja dengan tempat tinggal.
g.
Pemeriksaan fisik
1)
Inspeksi
Klien
tampak kesakitan, berat badan menurun, kelemahan, cemas, mata merah dan cekung
karena kurang istirahat dan tidur.
2)
Palpasi
Nyeri
tekan pada daerah epigastrium, turgor kulit menurun karena sering muntah.
3)
Auskultasi
Peristaltik
sangat lambat dan hampir tidak terdengar (kurang dari lima kali permenit).
4)
Perkusi
Pekak
karena meningkatnya produksi HCl dan perdarahan akibat perlukaan.
h.
Laboratorium
Dilakukan
analisa cairan lambung.
1)
Endoskopi
2)
Pemeriksaan diagnostik
Feses ada darah (melena) jika terjadi perdarahan,
terjadi peningkatan asam lambung yang dapat menyebabkan mual dan muntah.
2.
Diagnosa keperawatan
Diagnosa
keperawatan dibuat setelah dilakukan analisa dari data-data yang
terkumpul. Pada tahap ini merupakan
langkah kedua dari proses keperawatan yang berorientasi pada kebutuhan dasar
manusia berdasarkan teori kebutuhan dasar Abraham Maslow, serta memperlihatkan respon
individu/klien terhadap penyakit atau kondisi yang dialaminya.
Diagnosa
keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai
akibat dari masalah-masalah kesehatan/proses kehidupan yang potensial dan
aktual. Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan intervensi untuk
mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat (Carpenito, 1998).
Pada
klien dengan Dyspepsia ditemukan tiga masalah keperawatan (Tucker dan
Carpenito, 1983), yaitu :
a.
Perubahan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah.
b.
Nyeri berhubungan dengan iritasi dan diserupsi mukosa
lambung.
c.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang perawatan rumah dan status nutrisi.
3.
Rencana Keperawatan
Rencana
keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Setelah
merumuskan diagnosa keperawatan, maka perlu adanya suatu perencanaan intervensi
yang dipandang sebagai inti atau pokok dari suatu proses keperawatan yang
nantinya memberikan arah bagi kegiatan keperawatan.
Menurut
Marilyn E, 1999, rencana keperawatan pada diagnosa diatas adalah sebagai
berikut :
a.
Perubahan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi secara optimal dalam
waktu 2x24 jam.
Kriteria Hasil :
1)
Pasien mengatakan tidak merasa
lemas.
2)
Porsi makan yang disediakan
dihabiskan.
Intervensi :
1)
Buat jadwal masukan tiap jam. Anjurkan mengukur
cairan/makan dan minum sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan.
2)
Timbang berat badan tiap hari. Buat jadwal teratur
setelah pulang.
3)
Tekankan pentingnya menyadari kenyang dan menghentikan
makan.
4)
Diskusikan yang disukai pasien dan masukan dalam diet
murni.
5)
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet.
6)
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin
seperti B12, folat dan kalsium sesuai indikasi.
Rasional :
1)
Setelah tindakan pembagian, kapasitas gaster menurun
kurang lebih 50 m, sehingga perlu makan sedikit tapi sering.
2)
Pengawasan kehilangan dan alat pengkajian kebutuhan
nutrisi/keefektifan terapi.
3)
Makan berlebihan dapat menyebabkan mual/muntah atau
kerusakan operasi pembagian.
4)
Dapat menyebabkan masukan, meningkatkan rasa
berpartisipasi/kontrol.
5)
Perlu bantuan dalam perencanaan diet yang memenuhi
kebutuhan nutrisi.
6)
Tambahan dapat diperlukan untuk mencegah anemia karena
gangguan absorpsi. Peningkatan motilitas usus dan menambah nafsu makan klien.
b.
Nyeri ulu hati berhubungan dengan peningkatan asam lambung.
Tujuan :
Nyeri berkurang/hilang dalam waktu 3 x 24 jam.
Kriteria hasil :
1)
Pasien mengatakan nyeri berkurang.
2)
Ekspresi wajah tidak meringis.
3)
Tidak ada distensi abdomen.
4)
Skala nyeri 0.
Intervensi :
1)
Catat keluhan nyeri, termasuk lokasi, lamanya,
intensitas (skala 1-10).
2)
Kaji ulang faktor yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri.
3)
Catat petunjuk nyeri non verbal, contoh gelisah,
menolak bergerak, berhati-hati denagn abdomen, takikardi, berkeringat. Selidiki
ketidaksesuaian antara petunjuk verbal dan non-verbal.
4)
Berikan makan sedikit tapi sering sesuai indikasi untuk
pasien.
5)
Identifikasi dan batasi makanan yang menimbulkan
ketidaknyamanan.
6)
Bantu latihan rentang gerak pasif/aktif.
7)
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan dan
melakukan perubahan diet.
8)
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida.
Rasional:
1)
Nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus
dibandingkan dengan gejala nyeri sebelumnya dimana dapat membantu mendiagnosa
etiologi perdarahan dan terjadinya komplikasi.
2)
Membantu dan membuat diagnosa dan kebutuhan terapi.
3)
Petunjuk non-verbal dapat berupa fisiologis dan
psikologis dan dapat digunakan dalam menghubungkan petunjuk verbal untuk
mengidentifikasi luas/beratnya masalah.
4)
Makanan mempunyai efek penetralisir asam, juga
mnghancurkan kandungan gaster.
5)
Makanan sedikit mencegah distensi dan haluaran gastrin.
6)
Menurunkan kekakuan sendi, meminimalkan nyeri/
ketidaknyamanan.
7)
Pasien mungkin diberikan makanan yang tidak mengandung
gas, dan bahan yang merangsang asam lambung.
8)
Menurunkan keasaman gaster dengan absorpsi atau dengan
menetralisir kimia. Evaluasi tipe antasida dalam gambaran kesehatan total, mis
: pembatasan Na.
c.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar mengenai kondisi
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi /sumber-sumber, kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Tujuan :
Klien mengetahui dan memahami tentang penyakit/kondisi yang dirasakannya
saat ini dalam waktu 1 x 15 menit.
Kriteria hasil :
1)
Klien berpartisipasi dalam proses belajar.
2)
Klien memberikan pernyataan verbal atas pemahamannya.
3)
Klien mampu menjawab pertanyaan perawat saat evaluasi.
4)
Klien mengungkapkan pernyataan verbal tentang respon
positif terhadap anjuran perawat.
Intervensi :
1)
Beri pendidikan kesehatan tentang penyakitnya.
2)
Evaluasi pendidikan kesehatan yang telah diberikan.
3)
Beri reward atas kemampuan yang telah ditunjukkan
klien.
4)
Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar klien dan
juga keluarga.
5)
Anjurkan klien untuk mendatangi sumber-sumber pelayanan
untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut jika klien telah kembali ke
masyarakat.
6)
Jelaskan tentang pentingnya kontrol kesehatan untuk
mengevaluasi dengan tim rehabilitasi untuk menindaklanjuti program terapi klien
di luar rumah sakit.
Rasional :
1)
Memberikan informasi dimana pasien/orang terdekat dapat
memilih berdasarkan informasi.
Pengetahuan tentang penyakit membantu untuk memahami kebutuhan terhadap
terapi.
2)
Mengidentifikasikan pemahaman klien/keluarga dan
masalah yang potensial dapat terjadi, sehingga solusi alternatif dapat
ditentukan.
3)
Meningkatkan motivasi klien/keluarga dalam
pembelajaran.
4)
Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien/keluarga.
5)
Meningkatkan dukungan untuk pasien selama periode penyembuhan
dan memberikan evaluasi tambahan pada kebutuhan yang sedang berjalan/perhatian
baru.
6)
Memantau perkembangan penyembuhan.
4.
Pelaksanaan
Tindakan
keperawatan atau implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan oleh perawat
dan klien. Dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan rencana setelah
dilakukan validasi penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan
teknikal, intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi
yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi berupa
pencatatan dan pelaporan ( Gafar La Ode Jumadi ).
Ada tiga fase implementasi
keperawatan, yaitu :
a.
Fase persiapan, meliputi pengetahuan tentang rencana,
validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana,
persiapan klien dan lingkungan.
b.
Fase operasional, merupakan puncak implementasi dengan berorientasi
pada tujuan. Implementasi dapat dilakukan dengan intervensi independen,
dependen atau interdependen.
c.
Fase terminasi, merupakan terminasi perawat dengan klien
setelah implementasi dilakukan.
Hal-hal
yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi
dilakukan sesuai dengan rencana setelah
dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan
teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi
yang tepat, kemampuan fisik, psikologis dilindungi dan didokumentasi
keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan.
5.
Evaluasi
Fase
akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang
diberikan. Hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan, dan kualitas
data, teratasi atau tidaknya masalah klien, serta pencapaian tujuan serta
ketepatan intervensi keperawatan.
Tujuan
evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencana keperawatan, menilai dan
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan melalui perbandingan pelayanan
keperawatan yang diberikan serta hasilnya dengan standar yang telah ditentukan
terlebih dahulu.
Kemudahan
atau kesulitan evaluasi dipengaruhi oleh kejelasan tujuan dan bisa tidaknya
tujuan tersebut diukur. Di samping evaluasi yang dilakukan oleh perawat yang
bertanggung jawab pada klien dapat dinilai juga oleh klien sendiri, teman kerja
perawat dan pimpinan administrasi. Evaluasi tanggung gugat pelayanan keperawatan
serta menentukan tindakan yang efektif dan tidak efektif.
No comments:
Post a Comment